Apakah kamu nasabah bank syariah? Pernahkah kamu mendengar tentang akad mudharabah? Atau malah kamu pernah menggunakan fasilitas tersebut untuk mendapatkan modal usaha? Atau kamu investor yang berinvestasi dengan prinsip akad mudharabah?
Nah, sebenarnya apa itu akad mudharabah? Bagaimana konsep dan contohnya? Semua pertanyaan tentang akad mudharabah ini akan Qoala jelaskan pada ulasan ini. Yuk, simak!
Pengertian Akad Mudharabah
Akad mudharabah adalah jenis akad yang sering ditemukan di berbagai macam jenis produk atau program yang ditawarkan oleh bank syariah. Dilansir dari laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satu produk yang dijalankan menggunakan prinsip perjanjian mudharabah adalah pembiayaan.
Hal ini berkaitan dengan prinsip bank syariah itu sendiri yang dituntut untuk menyalurkan pembiayaan modal sesuai dengan ketentuan syariat, sehingga perjanjian mudharabah dan akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah Islam digunakan.
Dari segi definisi, OJK menyebutkan pengertian perjanjian mudharabah adalah akad yang bisa digunakan untuk kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk investasi syariah, yaitu deposito, tabungan, atau bentuk produk perbankan lainnya.
Pemilik dana (shahibul maal) menanamkan dananya kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu. Nantinya pembagian hasil menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak sesuai nisbah yang telah disepakati di awal.
Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga menjelaskan bahwa pada perjanjian yang sedang berlangsung kerugian akan ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah, kecuali jika pihak kedua, yaitu nasabah, melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau melanggar perjanjian atau detail yang sudah disetujui saat perjanjian mudharabah dibuat.
Dengan adanya undang-undang ini, artinya perjanjian mudharabah merupakan bentuk perjanjian kerja sama yang mendapat dukungan penuh dari hukum di tanah air.
Konsep Akad Mudharabah
Dari masa ke masa ketentuan dari perjanjian mudharabah pun juga mengalami inovasi seiring perkembangan zaman. Pada awalnya, perjanjian mudharabah tidak bisa digabungkan dengan akad jenis lainnya. Namun, saat ini konsep perjanjian mudharabah lebih fleksibel untuk dapat digabungkan dengan akad lain, seperti perjanjian mudharabah dipadukan dengan akad musyarakah di dalam sebuah aktivitas perbankan syariah.
Penggabungan akad lain dengan perjanjian mudharabah ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada layanan jasa perbankan syariah yang baik. Tidak hanya jenis kerjasamanya, konsep mudharabah juga berkembang dari segi mekanisme pembayaran atau angsurannya.
Jika dalam konsep mudharabah klasik mekanisme angsuran dalam pembayaran modal pokok dan pembayaran bagi hasil hanya dilakukan satu kali di akhir periode kontrak. Namun saat ini, ketentuan aktivitasnya diatur melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN – MUI, serta Peraturan OJK.
Fatwa DSN – MUI Nomor: 07/DSN/MUI/IV/2000 mengenai pembiayaan mudharabah menjelaskan bahwa akad ini adalah sebuah akad atau perjanjian kerja sama suatu usaha antara dua pihak. Kedua pihak yang dimaksud adalah pihak pertama yaitu pemilik modal yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua yang merupakan pengelola modal yang menerima dan mengelola modal yang diberikan oleh pihak pertama.
Fatwa tersebut juga menjelaskan mengenai jangka waktu dari kerja sama akad mudharabah. Jangka waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, akad mudharabah merupakan jenis kesepakatan yang menawarkan kemudahan dan fleksibilitas bagi kedua belah pihak untuk bisa mengakomodasi kebutuhan serta keuntungan manfaat yang diterima.
Selain itu, sebagai pihak pertama, pemilik modal juga diperbolehkan untuk menentukan jenis usaha apa yang akan dikembangkan berdasarkan kesepakatan akad mudharabah yang disetujui bersama dan sesuai dengan aturan syariah. Meskipun begitu, dalam pelaksanaannya pihak pertama tidak boleh ikut dalam manajemen jenis usaha yang dipilih sesuai akad yang disepakati.
Dalam kesepakatan akad mudharabah, pihak pertama selaku pemilik modal adalah pihak yang mempunyai hak dan juga peran untuk melakukan pengawasan serta pembinaan usaha yang telah disepakati tersebut. Peran ini dibutuhkan untuk meminimalisasi risiko jenis usaha yang dilakukan di masa yang akan datang.
Pasalnya, konsep akad mudharabah ini adalah kesepakatan kerja sama yang memiliki prinsip pembiayaan tanpa jaminan pasti. Bisa saja ada jaminan, jika memang dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Bisa dikatakan dalam akad ini transparansi merupakan faktor yang sangat penting bagi terlaksananya kesepakatan dengan baik.
Jenis Akad Mudharabah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, demi memenuhi kebutuhan masyarakat secara luas dan untuk meningkatkan kualitas layanan, konsep akad mudharabah dalam aktivitas perbankan saat ini pun telah mengalami perkembangan.
Seiring dengan perkembangannya tersebut, muncul beberapa jenis akad mudharabah yang dilihat berdasarkan transaksinya. Secara umum, ada dua jenis akad mudharabah yang biasa digunakan:
1. Mudharabah muthlaqah
Dalam transaksi syariah, akad mudharabah mutlaqah adalah istilah yang akan sering kamu temui. Mutlaqah adalah salah satu jenis akad mudharabah dimana pemilik modal tidak ikut menentukan usaha apa yang dilakukan oleh si pengelola modal.
Sifat dana yang diberikan adalah dana bebas, artinya pihak pengelola dana tidak memiliki batasan dalam menentukan usaha dan pelaksanaannya. Pihak pemilik modal hanya melakukan pengawasan untuk memastikan modal usaha yang diberikan berjalan dengan lancar dan mereka akan menerima nisbah atau bagi hasil dari usaha tersebut.
Sesuai kesepakatan, akad mudharabah mutlaqah akan menjadi bukti kerjasama sah yang akan mengatur bagi hasil atau nisbah yang diterima oleh si pemilik modal.
2. Mudharabah muqayyadah
Jenis lainnya adalah akad mudharabah muqayyadah. Jenis ini merupakan kebalikan dari muthlaqah, pada akad ini pemilik modal bisa menentukan jenis usaha yang dijalankan. OJK menyatakan bahwa akad mudharabah muqayyadah ini dibagi menjadi dua, yaitu akad mudharabah muqayyadah on balance sheet dan akad mudharabah muqayyadah off balance sheet.
Pada akad mudharabah muqayyadah on balance sheet, nasabah yang memberikan modal ke bank akan mensyaratkan sektor usahanya, seperti pertanian tertentu, properti atau tambang saja. Lalu pihak bank yang menyalurkannya dan pencatatan dilakukan secara on balance sheet. Kemudian untuk penentuan nisbah dilakukan oleh pihak bank dan nasabah investor.
Sementara itu pada mudharabah muqayyadah off balance sheet, bank akan bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan si pemilik modal dengan pengelola modal. Pihak bank akan memperoleh fee atas perannya sebagai arranger. Penentuan jenis usaha dan besar bagi hasil dilakukan oleh k muthlaqah nasabah investor (pemilik modal) dan nasabah debitur (pengelola modal). Pencatatan transaksi di bank akan dijalankan secara off balance sheet.
3. Mudharabah musytarakah
Mudharabah musytarakah adalah jenis akad perpaduan antara akad mudharabah dan musyarakah. Konsepnya adalah ketika di awal kerja sama akad yang disepakati yaitu akad mudharabah, dimana modal seutuhnya dari pemilik dana, namun jika dalam berjalannya usaha kemudian si pengelola dana tertarik untuk ikut menanam modal pada usaha tersebut, maka pengelola dana diperbolehkan untuk melakukannya agar usaha bisa berkembang.
Pada praktik Mudharabah Musytarakah, pengelola dana akan mendapatkan keuntungan bagi hasil sebagai penanam modal sesuai dengan besaran modal yang diinvestasikan.
Dasar Hukum Mudharabah
Selain dasar hukum negara, akad yang berbasis syariat juga harus punya landasan hukum agama. Pada dasarnya, akad mudharabah adalah akad halal yang menjadi salah satu opsi mencari rezeki dengan mengadakan perikatan syariah.
Adapun dasar-dasar hukum mudharabah dalam agama dapat ditemui di dalam Al-Quran, Hadits dan Qiyas. Berikut beberapa dasar hukum Akad mudharabah:
1. Al-Qur an
Tidak ada penyebutan secara eksplisit di Al-Qur’an tentang mudharabah, meskipun begitu asal kata mudharabah yaitu “ dharaba” terdapat sebanyak lima puluh delapan kali.
Menurut pendapat Muhammad Asad ada beberapa ayat yang ada kaitannya dengan akad mudharabah adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah (2), ayat 273 :
“Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta…”
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’(4), ayat 101:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orangorang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”
Lalu surat al-Muzammil (73), ayat 20, yang aritnya:
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah”
Sesuai pendapat Muhammad Asad, meskipun kaitannya jauh, ayat-ayat di atas punya kemungkinan memiliki kaitan dengan mudharabah, yaitu mengacu pada arti perjalanan atau perjalanan untuk tujuan dagang.
Adapun ayat-ayat lain yang jadi dasar-dasar hukum mudharabah yang lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha, adalah sebagai berikut:
Surat al-Muzammil (73), ayat 20, yang artinya:
“…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah….”
Lalu surat al Jumu’ah (62), ayat 10, yang artinya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Beberapa ayat di atas memiliki kandungan berupa dorongan untuk menjalankan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Al-Hadits
Sumber lain yang membahas tentang akad mudharabah adalah Hadits Rasulullah SAW. Ada dua hadits yang menganjurkan untuk berusaha melalui usaha kemitraan dengan pihak lain agar sama-sama memperoleh keuntungan. Berikut haditsnya:
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada pengelolanya agar tidak mengarungi lautan dan menuruni lembah serta tidak membeli hewan ternak. Jika syarat tersebut dilanggar maka pengelola dana harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas didengar oleh Rasulullah SAW, Beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani)
Sumber lainnya adalah Hadits Rasulullah SAW:
Dari Shalih bin Shuhaib r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal didalamnya terdapat keberkatan yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah ), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.” ( HR Ibnu Majah ).
3. Qiyas
Qiyas adalah penentuan hukum terhadap sesuatu dengan menyamakan atau mengqiyaskannya pada hukum yang sudah jelas dalilnya. Menurut beberapa pendapat akad mudharabah ini di-qiyas-kan kepada al-Musaqah, yaitu praktik menyuruh seseorang untuk mengelola kebun.
Diantara manusia ada yang kurang secara finansial namun punya daya dan kompetensi untuk bekerja. Sama halnya dengan akad mudharabah yang memiliki tujuan untuk memberikan pendanaan pada pada sebagian orang yang membutuhkan suntikan dana dalam menjalankan suatu usaha. Keberadaan opsi kerjasama berupa mudharabah membuat dua golongan diuntungkan, pemilik modal dan pengelola.
Dengan memperhatikan dasar-dasar hukum yang kami jelaskan di atas, baik dari al-Qur’an, hadits, dan qiyas, semuanya menunjukkan bahwa kerja sama berbasis perjanjian mudharabah hukumnya boleh, dan perikatan sejenis sudah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat.
Contoh Akad Mudharabah
Adapun contoh perjanjian mudharabah bisa dilihat dengan menilik pada skema yang dipraktikan dalam perbankan syariah. Berikut skema perjanjian mudharabah yang biasa dilakukan bank syariah saat ini:
Saudara A berencana untuk membuka usaha di bidang kuliner. Setelah menghitung perkiraan modal awal yang masuk ke dalam rencana bisnis makanan, dia mengetahui bahwa rencananya tersebut memerlukan modal yang cukup banyak. Uang yang dimiliki saudara A ini ternyata tidak cukup untuk dijadikan modal untuk bisnis kuliner tersebut.
Untuk menutupi kekurangan modal yang dibutuhkan, akhirnya dia memutuskan untuk meminjam dana kepada bank syariah sebesar Rp 50.000.000,00. Bank syariah pun menawarkan dana seperti yang diminta untuk digunakan modal usaha dengan perjanjian bagi hasil, yaitu saudara A sebagai pengelola modal akan mendapat keuntungan sebesar 60% dan bank syariah yang memberikan modal akan mendapat keuntungan sebesar 40% dengan jangka waktu pengembalian setahun.
Setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan keduanya menandatangani persetujuan, saudara A pun diberikan pinjaman sebesar Rp 50.000.000,00.
Pada bulan pertama, saudara A mencatat pada bukunya bahwa usahanya telah memberikan keuntungan sebesar Rp 5.000.000,00. Dia perlu menyetorkan laporan keuntungan bersih yang diperolehnya pada buku khusus kepada bank. Setelah dicatat, setiap bulannya juga saudara A harus menyetor uangnya pada bank syariah melalui tabungan mudharabah. Hingga pada akhir tahun, tercatat bahwa saudara A telah mendapatkan keuntungan sebesar Rp 60.000.000,00.
Setelah usahanya berlangsung selama satu tahun seperti yang disebut dalam perjanjian, saudara A terus menyetor uangnya kepada bank syariah melalui tabungan mudharabah, dia pun dapat mengembalikan uang yang dipinjam beserta keuntungannya pada bank syariah, kemudian dilakukan pembagian hasil yang besarannya sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui.
Setelah dihitung, pembagian hasilnya saudara A yang punya hak 60% memperoleh keuntungan sebesar Rp36.000.000,00. Sementara pihak bank yang berhak atas 40% keuntungan memperoleh uang bagi hasil sebesar Rp 24.000.000. Akhirnya saudara A mengembalikan total pinjaman ditambah keuntungan kepada bank sebesar Rp 74.000.000.
Itulah penjelasan lengkap Qoala tentang perjanjian mudharabah, dari mulai pengertian, jenis, hukum dan contohnya. Intinya akad mudharabah adalah bentuk kerja sama dimana pemilik modal memberikan dana kepada pengelola modal untuk digunakan menjalankan suatu usaha tertentu dengan mekanisme bagi hasil, bisa bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing) tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Dan tentunya akad ini bersifat halal dan sesuai dengan prinsip syariah.